Pemikiran tentang Kedaulatan (Souvereignty)

Published by

on

liberation_smallKonsep modern tentang kedaulatan, pertama kali mengemuka pada akhir abad ke enam belas, sebagai tanggapan atas fenomena kemunculan negara teritorial. Gagasan teoritik tentang kedaulatan pada mulanya dikemukakan oleh Jean Bodin, salah seorang pemikir renaissance asal Prancis, pada 1576, melalui karangannya, “Les Six Livres de la Republique.” Bodin menafsirkan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi terhadap warganegara dan rakyat-rakyatnya, tanpa dibatasi oleh undang-undang. Dari penafsiran terlihat jelas, bahwa kemunculan konsepsi kedaulatan adalah berangkat dari fakta politik yang mendasar saat itu, yaitu lahirnya negara. Tentang negara, Bodin banyak merujuk pendapat Aristoteles, ia memaknai negara sebagai keseluruhan dari keluarga-keluarga dengan segala miliknya, yang dipimpin oleh akal budi seorang penguasa yang berdaulat.[1] Negara berbeda dengan masyarakat lainnya, karena adanya summa potestas (kekuasaan tertinggi). Menurut Bodin, salah satu aspek kedaulatan ialah kekuasaan untuk menjadikan hukum sebagai cara untuk mengefektifkan kehendak kedaulatan, karenanya Bodin kemudian menyamakan antara undang-undang dengan hukum.[2] Pemikiran Bodin ini selanjutnya diperkuat oleh Thomas Hobbes, meski dengan memberi beberapa catatan.

Berbeda dengan Bodin, yang menyatakan kendatipun kedaulatan memegang kekuasaan tertinggi, namun kedaulatan dibatasi oleh hukum Tuhan dan hukum alam. Hobbes menegaskan, bahwa tidak ada batasan bagi kekuasan membuat hukum dari kedaulatan. Kedaulatan berada di atas segala-galanya. Artinya, konsepsi Hobbes mengenai kedaulatan adalah rasional dan utilitarian. Kedaulatan murni merupakan hasil dari kepentingan pribadi individu secara rasional, yang menggantikan hasrat tidak rasional.[3] Paham Hobbes sekaligus juga memberikan catatan terhadap pandangan Grotius yang diutarakan sebelumnya. Grotius mengatakan bahwa ikatan hukum alam—hukum antarbangsa/hukum internasional—menjadi pengikat antara negara-negara yang satu dengan yang lain. Terhadap pandangan ini Hobbes membantah, dikatakan, negara-negara satu sama lain itu hidup dalam keadaan alamiah, di mana masing-masing orang membela dirinya terhadap yang lain dengan sebaik-baiknya, jadi menurut Hobbes hukum internasional hanya akan mengikat individu-individu, jikalau diterima oleh sang daulat—penguasa sebagai manifestasi dari kedaulatan.[4] Terhadap perbedaan pandangan ini, Laski (1931) berkomentar, hukum antar bangsa akan menjadi sebenar-benarnya hukum, bila telah mendapat pengakuan dari negara-negara yang menyatakannya sebagai hukum. Hukum itu sendiri tidak memiliki kekuatan mengikat, dia hanya mendapat kekuasaan dari negara-negara yang mengesahkannya sebagai peraturan hukum nasional.[5] Pandangan Laski, terkesan memperkuat argumen yang dikemukakan oleh Hobbes.

Perkembangan signifikan realitas politik dunia, yang ditandai dengan banyak bermunculannya negara baru dan meningkatnya kuantitas hubungan internasional, berakibat juga pada cepatnya perkembangan hukum internasional. Perkembangan ini tentunya dibarengi dengan perubahan konsepsi teoritis yang signifikan pula, sehingga membuka kembali perdebatan tentang posisi kedaulatan dalam kancah hukum internasional yang semakin berkembang. Sebenarnya perdebatan yang terjadi masih memiliki akar yang sama dengan periode sebelumnya, yaitu berkait dengan kedudukan dan relasi antara hukum nasional dengan hukum internasional. Pada masa ini berkembang doktrin, bahwa hukum internasional tidak akan pernah menjadi hukum penduduk (municipal law), namun secara tepat harus diadopsi oleh setiap pemegang kekuasaan untuk setiap kasusnya. Beberapa teori dikemukakan sebagai jawaban atas terjadinya kemelut ilmiah dan politik ini, baik berupa pembelaan, sanggahan maupun kritikan. Serangkaian pendapat itu antara lain; Pertama, gagasan Jellinek yang mengemukakan doktrin pembatasan diri dari negara. Teori ini menyatakan, pada satu sisi negara berdaulat harus tunduk patuh pada ketetapan hukum internasional, namun di sisi lain negara harus patuh pula pada kehendak para individu (warganegara) sebagai manifestasi dari kedaulatan nasional. Konsekuensi dari dua kewajiban tersebut, mengharuskan negara untuk mampu menentukan pilihan, ketika terjadi pertentangan antara kedua kewajiaban tersebut. Karenanya, sebagai bentuk kedaulatan tertinggi, negara dapat menolak patuh terhadap ketetapan dan kebiasaan internasional. Teori Jellinek senada dengan yang dikemukakan oleh Triepel dan Anzilotti. Kelamahan dari kedua teori tersebut ialah adanya keharusan untuk menentukan pilihan pada kondisi tertentu, yang berarti kurang memberikan titik terang atas terjadinya perdebatan. Kedua, teori Del Vecchio, yang menyatakan bahwa kebebasan berkehendak negara, yang merupakan perwujudan dari kedaulatan, telah melahirkan penolakan terhadap prinsip hukum internasional. Di sisi lain, kaidah hukum alam menuntut manusia bersatu sama lain, dan mengakui kesederajatan. Oleh karena itu, Del Vecchio menyarankan penggabungan nyata antara hukum nasional dan hukum internasional, dengan alasan, meskipun kedua sistem hukum mungkin memiliki derajat positivitas yang berbeda, akan tetapi yang terpenting adalah tingkat keefektifannya. Pandangan Del Vecchio ditentang oleh kaum nasionalistis, yang diwakili oleh Erich Kaufmann. Dia mengatakan bahwa kekuatan mengikat dari hukum internasional adalah tidak sesuai dengan kedaulatan negara. Kaufmann meneruskan ajaran filsafat Hegel (filsafat organis), yang menyatakan negara merupakan satuan tertinggi, relasi antar negara dibangun sekedar dari sumbangannya bagi sejarah dunia. Hukum internasional—dalam bahasa Hegel disebut sebagai famili bangsa-bangsa—adalah bukan kenyataan.[6]

Selanjutnya, pandangan dikemukakan oleh Kelsen melalui mahzab monistik-nya. Pandangan Kelsen dimulai dengan pernyataan bahwa kedaulatan adalah satu kualitas tertinggi dari negara, yang berarti negara adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Begitupun tatanan hukum dari negara—hukum nasional—dianggap sebagai tatanan hukum tertinggi, yang tak ada lagi atasnya. Kelsen kemudian mengatakan, satu-satunya tatanan hukum yang dapat dianggap lebih tinggi dari tatanan hukum nasional adalah hukum internasional. Apakah berarti negara menjadi tidak berdaulat? Tidak. Menurut Kelsen hukum internasional, melalui prinsip efektivitasnya, sekedar menentukan bidang dan validitas hukum nasional. Jadi superioritas hukum internasional terhadap hukum nasional hanya pada persoalan isi/substansi hukumnya. Dan hukum internasional hanya valid jika diakui negara yang berdaulat, melalui suatu hukum nasional.[7] Terhadap serangkaian perdebatan tentang konsepsi kedaulatan, Morgenthau memberikan komentar;

Hukum internasional adalah tatanan hukum yang terdesentralisasi dalam dua arti. Pertama, sebagai soal prinsip, atuaran-aturannya hanya mengikat bangsa-bangsa yang menyatakan kesediannya menerima aturan-aturan tersebut. Kedua, kebanyakan aturan-aturannya mengikat karena kesediaan yang dinyatakan adalah demikian kabur dan ambigu, serta sangat dikualifikasikan oleh syarat-syarat dan pengecualian-pengecualian, sehingga membiarkan masing-masing bangsa mempunyai kebebasan bertindak yang sangat luas apabila mereka diminta untuk tunduk pada hukum internasional.[8]

Dalam konteks kekinian, kedaulatan ditafsirkan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya, dengan catatan tidak bertentangan dengan hukum internasional.[9] Pada awal kelahirannya, kedaulatan dibagi menjadi dua aspek, internal dan eksternal,[10] namun pada perkembangannya aspek kedaulatan berkembang menjadi tiga aspek, sesuai yang ditetapkan oleh hukum internasional, yaitu terdiri dari:[11]

a. Aspek eksetrn kedaulatan, adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.

b. Aspek intern kedaulatan ialah, hak atau kewenangan eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya, serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.

c. Aspek teritorial kedaulatan, berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut.

Perkembangan terakhir, meski memiliki basis legitimasi yang kuat secara internasional, pada kenyataannya kedaulatan semakin terdistorsi dan terestriksi oleh makin menguatnya badan-badan internasional (terutama lembaga ekonomi keuangan dan dagang internasional, IMF, World Bank, WTO), korporasi-korporasi transnasional (TNC’s/MNC’s), dan dominasi negara-negara super power. Mereka kian meng-alienasi kedaulatan negara-negara merdeka di dunia, terutama Negara-negara Dunia Ketiga.


[1] J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1962), hal. 140-143.

[2] W. Friedmann, Legal Theory (terj), (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 244.

[3] W. Friedmann, Op. Cit., hal.77.

[4] J.J. Von Schmid, Op. Cit., hal. 184-185.

[5] Harold J. Laski, Pengantar Ilmu Politika, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1959), hal. 112.

[6] W. Friedmann, Op. Cit., hal. 244-248.

[7] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara (terj), (Bandung: Nusamedia, 2007), hal. 539-544.

[8] Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), hal. 203.

[9] Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 24.

[10] Lihat Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakart: Liberty, 1998), hal. 151.

[11] Boer Mauna. Op. Cit., hal. 24

4 responses to “Pemikiran tentang Kedaulatan (Souvereignty)”

  1. kususanto@bappenas.go.id Avatar

    Tentang Etika Politik Kekuasaan
    dan
    Kekuasaan Politik di Republik Indonesia•
    ( Dri Arbaningsih )

    Abstraksi
    Sesungguhnya, kekuasaan merupakan daya (impulse) yang berisi dua, yaitu di satu sisi daya untuk menguasai dan di sisi lain daya untuk dikuasai (Bertrand Russel, 1938, 1992:7). Kekuasaan merupakan isu yang menarik untuk dikaji, karena seperti ikan berenang di dalam air, ia tidak menyadari bahwa ia berada dalam air, demikian juga manusia, ia menggunakan kekuasaan untuk mencapai apa yang dikehendaki tanpa memahami ‘binatang’ apa sesungguhnya Kekuasaan itu.
    Kekuasaan, baik yang bersifat individual (in the state of human nature) maupun kelembagaan sebagai kekuasaan pada organisasi dan Negara dalam bentuk otoritas legal (wewenang) atau sovereinitas tidak selamanya membawa kesejahteraan, bahkan tidak sedikit yang menimbulkan kesengsaraan, sehingga kekuasaan perlu dibatasi, serta dijauhkan dari kelaliman manusia.
    Apa sesungguhnya kekuasaan politik itu? Mengapa harus ada kekuasaan politik pada Negara? Atas kehendak siapa? Jean-Jacques Rousseau berusaha menjawab pertanyaan mendasar tentang keabsahan Kekuasaan melalui teori Kontrak Sosial dalam Du Contrat Social (1762).
    Beberapa argumen mengenai Kekuasaan menjadi rujukan penyelenggaraan Kekuasaan politik serta membantu menganalisa jalannya proses demokratisasi, penyelenggaraan Konstitusi NKRI, pembagian Kekuasaan politik menurut paham Trias Politika, serta proses pemilihan Presiden yang kesemuanya perlu dicermati dan diluruskan.
    Kata kunci: Kekuasaan, Negara, Kekuasaan politik, Kekuasaan dimandatkan, Kekuasaan soverein, otoritas legal,Soverein, Kontrak Sosial, Konstitusi

    1. Pendahuluan
    Interaksi sosial manusia diwarnai dan dipengaruhi oleh Kekuasaan yang menurut Bertrand Russel merupakan daya (impulse) bersisi dua, yaitu daya untuk menguasai dan daya untuk dikuasai (Bertrand Russel, 1938, 1992:7). Kedua jenis daya tersebut bermuara pada kehendak manusia. Ada kehendak untuk berkuasa dan ada kehendak untuk dikuasai. Persoalan menguasai-dikuasai tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui semacam ‘kesepakatan’ baik yang bersifat tradisi atau priestly/kingly power (op.cit.: 35-56); yang bersifat sepihak atau naked power (op.cit.: 57-71); yang bersifat pemaksaan atau revolutionary power (op.cit.: 72-81) maupun yang bersifat kondisional atau economic power (op.cit.: 82-92). Dalam kenyataan, berbagai bentuk ‘kesepakatan’ tersebut berlangsung tumpang tindih.
    Kekuasaan itu sendiri, dibagi dalam dua kategori, yaitu Kekuasaan individual dan Kekuasaan kelembagaan. Makalah ini dimaksudkan lebih fokus kepada Kekuasaan kelembagaan, yaitu Kekuasaan yang dimandatkan melalui musyawarah dan mufakat Rakyat dalam sebuah Kontrak Sosial (1762), meminjam istilah Jean-Jacques Rousseau (1712-78), kepada Negara.
    Kekuasaan Negara diwakili oleh Perwakilan Rakyat yang ditunjuk oleh Rakyat, serta dialihkuasakan kepada lembaga tinggi Negara, yaitu pemerintahan (Legislatif, Eksekutif, Yudikatif) yang mendapatkan otoritas legal (authority/wewenang) dari Perwakilan Rakyat. Otoritas legal tersebut memiliki legitimasi dan hegemoni dalam menjalankan pemerintahan yang berkedaulatan Rakyat.
    Kekuasaan Negara merupakan reaksi terhadap Kekuasaan soverein, yang pada abad-abad sebelumnya berdiri dibelakang hegemoni kekudusan (Kontrak Sosial:1989:V). Pada zaman Kekudusan (abad pertengahan) tersebut, satu-satunya bentuk pemerintahan adalah Monarki. Kekuasaan soverein adalah Kekuasaan tunggal yang dimiliki Raja tanpa mandat. Kuasa Kekudusan dirumuskan sebagai berikut:
    Semua kekuasaan berasal dari Tuhan. Dialah yang mendelegasikan kekuasaannya kepada Raja. Monarki, dan pada waktu itu monarki absolut, adil dan sah, karena dikehendaki Tuhan. Raja adalah Monarki yang kekuasaannya diturunkan oleh Tuhan. (Kontrak Sosial: 1898:X)

    Sebuah Kerajaan didirikan atas Kekuasaan soverein Raja, serta dengan kekuatannya menentukan sendiri wilayah kekuasaannya. Rakyat menyerahkan kebabasannya untuk tunduk pada Kekuasaan soverein Sang Raja. Sebagai gantinya mendapat ’perlindungan’ dari Kerajaan. Ketika zaman berubah ke zaman Pencerahan, kemudian ke zaman Reformasi (Eropah) (abad ke-16), Rousseau menggunakan istilah Soverein untuk menunjuk Kekuasaan produk akta sosial atau Kontrak Sosial, sebagai pernyataan kebangkitan Kekuasaan Rakyat.
    …mengingat manusia tidak mungkin menggerakkan kekuatan baru namun hanya dapat menyatukan dan mengarahkan kekuatan-kekuatan yang ada, mereka tidak mempunyai cara lain untuk melestarikan diri kecuali membentuk sejumlah kekuatan yang dapat mengalahkan hambatan itu, dengan jalan mengumpulkan, menggiatkan kekuatan-kekuatan itu melalui satu penggerak dan membuatnya bergerak bersama secara serasi. (Kontrak Sosial: 1989: 14)
    Manusia harus memilih antara tetap bebas, tidak saling tergantung namun mati, dan bersatu untuk bertahan hidup dengan membangun masyarakat politis (societe civile) (ibid)

    Berdirinya sebuah Negara mutlak perlu didukung oleh keberadaan wilayah, rakyat, konstitusi dan berdaulat. Rakyat yang mendukung berdirinya sebuah Negara, bukan kawanan manusia yang bercerai-berai, melainkan sebuah asosiasi masyarakat yang Berkehendak Umum dan merupakan bagian dari sebuah Korps Politik (Negara). Kehendak umum untuk bersedia hidup di bawah Kekuasaan Negara tercantum dalam pakta sosial melalui musyawarah dan mufakat.
    Negara sebagai korps politik/asosiasi politik tidak serta merta berjalan mulus. Ada pertentangan Pribadi dengan Kehendak Umum, ada pula pertentangan antara Soverein (Legislatif) dengan Pemerintah (Eksekutif). Dalam upaya mencermati Kekuasaan Negara di Republik Indonesia, untuk banyak hal dapat disimak gagasan Rousseau dalam Du Contrat Social (Kontrak Sosial:1762) dan juga beberapa contoh Konstitusi Negara lain.
    2. Masyarakat politik, Sovereinitas, Kontrak Sosial dan Negara
    Kekuasaan terdapat pada masyarakat politik, sementara kekuatan mendominasi masyarakat alamiah. Beberapa pandangan mengenai dua hal tersebut dari Thomas Hobbes (Leviathan, abad ke-16) dan John Lock (Second Treaty of Civil Government, abad ke-16), serta Jean-Jacques Rousseau (Du Contrat Social,1762), sebagai berikut:
    Menurut Thomas Hobbes (1588-1679), manusia dalam status alamiahnya (man in the state of nature), adalah mahluk berhawa nafsu, yang merupakan serigala bagi manusia lainnya, homo homini lupus, serta seakan-akan senantiasa dalam kondisi perang, bellum omnium contra omnes (peperangan segala melawan segala). Untuk mengatasi kondisi alamiah tersebut, Hobbes berpendapat, perlunya masyarakat pra-politik diubah menjadi masyarakat politik dengan pakta sosial antar sesama anggota masyarakat politik, agar patuh kepada Penguasa. Kontrak Sosial versi Hobbes memposisikan Penguasa sebagai ‘pengawas’ atau ‘jaminan’ yang berada di luar pakta tersebut, yang diharapkan menjamin Kontrak dapat terlaksana dan dihormati. (Kontrak Sosial:1989:XII) Meskipun masyarakat politik versi Hobbes berada pada kesederajatan dan kebebasan sama satu dengan lainnya, namun konsekuensi pakta sosial tersebut memposisikan Penguasa berada dalam posisi Monarki Absolut.
    Sementara John Lock (1632-1704) berpendapat, karena berakal, maka dalam status alamiahnya, manusia menginginkan damai. Di zaman Lock, masyarakat politik berada dalam Kontrak dengan Penguasa tanpa Kekuatan Hukum (Kontrak Pribadi dengan para Penguasa). Demi mempertahankan kedamaian manusia, setiap individu/pribadi menukarkan kebebasannya dengan jaminan kedamaian dan keamanan yang tidak mereka dapatkan dalam status alamiahnya, namun tanpa memiliki hak untuk menuntut jaminan tersebut.
    Konsep John Lock tentang Kekuasaan individu dalam status alamiah mencakup life, liberty, property. Artinya, setiap pribadi berhak atas hidupnya, kebebasannya serta tanahnya (kepemilikan). Dari hak berkembang ke klaim (tuntutan). Lalu, muncul istilah teritori, hak milik, yaitu penguasaan perorangan/kelompok atas areal tanah yang diklaim sebagai miliknya. Kekuasaan individu tersebut, dalam perkembangan hak azasi manusia, lambat laun berlaku bagi sesuatu yang tidak bersifat fisik (intangible), misalnya karya pribadi yang tidak dikehendaki diakui orang lain. Sistem pengakuan atas karya pribadi, penemuan, ciptaan, misalnya hak paten (property right), dan sebagainya merupakan perkembangan serta pergeseran Kekuasaan individu yang semula bersifat searah (klaim) menjadi timbal-balik (pengakuan).
    Ternyata, Kontrak versi Lock pada gilirannya merupakan sebuah ‘penyerahan diri’ pribadi maupun para pribadi kepada Penguasa. Sebaliknya, Kontrak menimbulkan ‘Kekuasaan baru’ yang mengikat Pribadi maupun para Pribadi yang berakibat pada munculnya sistem ‘perbudakan baru.’
    Sebelum zaman Rousseau, kontrak berlangsung tanpa kekuatan Hukum. Apabila terjadi friksi antara penduduk dengan Penguasa Kerajaan, yang terjadi adalah anarki (pemberontakan masyarakat politik) atau tirani (penindasan oleh Kekuasaan).
    Baik kontrak versi Hobbes maupun Lock, karena sifatnya ‘penyerahan diri’ kepada penguasa, baik sebagian maupun keseluruhan, secara hukum tidak berlaku. (Kontrak Sosial;1989:XIII)
    Kecewa dengan konsep Kontrak versi Hobbes serta versi Lock yang menurut Rousseau justru menyempitkan posisi masyarakat politik, ia kemudian berpendapat, bahwa Kontrak Sosial adalah musyawarah dan mufakat antara individu dan kolektivitas, dimana individu tersebut menjadi anggota dalam kolektivitas (pakta sosial).
    Individu selama ada pakta, wajib mengorbankan kehendak sendiri pada Kehendak Umum (Kontrak Sosial:1989:XIV)
    …dalam keadaan alami, individu bebas memiliki segala hak. Pada saat ia masuk ke dalam masyarakat politik, harus menyerahkan seluruh haknya: ia menerima untuk menyerahkan diri tanpa syarat pada wibawa politik. (Kontrak Sosial:1989:15)
    Pakta itu melahirkan Rakyat, sesuatu yang lebih daripada penjumlahan bagian-bagiannya, yaitu individu. (Kontrak Sosial:1989:16)

    Seperti yang sudah disampaikan di atas, Jean Jacques Rousseau (1712-1778) yakin, bahwa Korps soverein tidak mungkin melakukan kesewenangan, seperti layaknya kesewenangan Kekuasaan soverein Raja. Adapun alasan yang disampaikannya adalah, bahwa Kekuasaan/Soverein versi Rousseau tidak pernah arbitrer.
    Keputusan yang diambil oleh Souverein adalah keputusan seluruh Rakyat, atau warga seluruhnya. Padahal Rakyat tidak pernah merusak dirinya sendiri. Kekuasaan itu, meskipun absolut, tidak mungkin menyimpang. (Kontrak Sosial:1989:18)
    Dengan terdapatnya hubungan segitiga antara Souverain-Negara-individu, dimana sebagai anggota Souverain, individu/pribadi terikat kepada individu lainnya, sementara sebagai warga Kekuasaan Negara, individu terikat kepada Souverain, oleh karenanya individu terikat kepada kontrak yang dibuatnya sendiri. Ia terikat kepada formulasi paradoksal:
    Kebebasan bukan lagi kemerdekaan dalam keadaan alami namun kebebasan konvensional yang diperoleh individu melalui kontrak. Patuh kepada Souverain adalah patuh kepada diri sendiri, jadi individu berada dalam keadaan bebas (otonomi). Dipaksa untuk patuh adalah sama dengan dipaksa untuk bebas. (Kontrak Sosial: 1989: 19)

    Kontrak Sosial adalah kesepakatan musyawarah mufakat Rakyat. Menurut Rousseau, Rakyat adalah korps moral sekaligus korps politik, yang merupakan suatu kesatuan, keakuan bersama, hidupnya dan kehendaknya. Negara yang diciptakan Kontrak Sosial merupakan korps politik pasif. (Kontrak Sosial: 1989:16) Rousseau menyebut Kekuasaan Rakyat sebagai Soverein (korps politik aktif). Korps moral yang merupakan kesatuan, keakuan bersama dalam hidupnya dan kehendaknya itulah yang dimaksudkan Rousseau dengan Republik. (ibid)
    Pakta Sosial Rousseau berbunyi:
    Masing-masing individu menyerahkan diri dan seluruh kekuasaan untuk kepentingan bersama, di bawah pimpinan tertinggi, yaitu kehendak umum, dan di dalam korps kita menerima setiap anggota sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan. (ibid)

    Di dalam akta asosiasi, setiap individu terikat pada individu lainnya, maka tidak bisa tidak, setiap individu akan bertindak sesuai dengan kehendak bersama (kehendak umum). Siapa yang menjamin anggota kelompok tersebut setia pada Korpsnya? Rousseau percaya, bahwa anggota Korps tidak akan mengkhianati kelompoknya, karena berarti ia mengkhianati dirinya sendiri.
    Dengan bahasa lain, Kontrak Sosial versi Rousseau dapat dipahami sebagai kehendak bersama untuk menyelenggarakan sebuah kehidupan kebersamaan etis dalam sebuah wadah yang bernama Negara. Wadah tersebut memiliki daya yang mampu mengikat semua pihak yang menginginkan kehidupan kebersamaan tersebut. Daya yang diakibatkan oleh Kontrak Sosial dalam musayawarah mufakat Rakyat disebut Rousseau dengan istilah Soverein. Bertrand Russel menyebutnya sebagai creed (Power:1938), yang menyebabkan sekumpulan orang bersatu untuk mampu menguasai dan menang. Dalam konteks itu, Kontrak Sosial merupakan kekuatan (creed) Rakyat yang memiliki daya (kehendak) untuk menghimpun kekuasaan berkedaulatan rakyat/korps moral bagi terlaksananya sebuah Negara (entitas bukan manusia). Hanya melalui Kekuasaan etis/bermoral, Negara dapat berfungsi sebagai wadah kehidupan kebersamaan, mengikat warganya, mempertahankan wilayah serta menjalankan undang-undangnya. Namun,
    Sebagai entitas nalar [Negara] bukan manusia, ia akan menikmati haknya sebagai ‘warga’ dan tidak menghiraukan kewajibannya sebagai ‘subyek’ [hukum]. Seandainya ketakadilan ini berkembang, korps politik akan hancur. Jadi, agar pakta sosial tidak menjadi kumpulan kaidah yang sia-sia, harus secara implisit mencakup keterikatan itu, satu-satunya yang dapat memberikan kekuatan kepada yang lain, agar siapapun yang menolak untuk patuh pada kehendak umum akan berhadapan dengan seluruh korps, artinya tidak lain daripada memaksanya untuk bebas. (Kontrak Sosial :1989 : 19)

    Dengan adanya Kontrak Sosial, individu tidak teralienasi dari dirinya ketika ia terikat pada Kehendak Umum yang di dalamnya terdapat kehendaknya sendiri. Ia juga tidak berada dalam situasi dikotomis dengan Kekuasaan Negara, karena ia adalah bagian dari Sovereinitas yang memegang mandat Kekuasaan Negara. Dengan demikian, Kontrak Sosial memposisikan individu dalam keterikatan dan sekaligus kebebasan. Menafikan kepatuhan kepada Kehendak Umum justru menghilangkan kebebasan, karena ia menjadi terikat kepada pemenuhan kewajiban yang tidak/belum dilaksanakan.
    Lain halnya Friederich Nieztsche (The Will to Power, 1886) yang tidak mempertentangkan kekuasaan dengan kehendak. Kekuasaan, menurut Nietzsche, tidak lain adalah Kehendak yang muncul dalam diri manusia untuk menguasai segala hal yang diinginkan. Kekuasaan ini menjadi kekuatan yang memampukan manusia untuk memiliki/menguasai/menaklukan, apabila diberi legitimasi yang disebut otoritas (Joseph Raz, 1986). Menurut Raz, otoritas adalah lawan kebebasan. Lembaga yang punya legitimasi otoritas adalah Negara. Otoritas Negara bisa sedemikian besar sehingga patut dijuluki ’leviathan’ (Thomas Hobbes).
    3. Kekuasaan Soverein versi Jawa
    Berbeda dengan Kekuasaan versi Barat, yang senantiasa di letakkan dalam konteks dikotomis, yakni memposisikan orang lain sebagai “the other”, Kekuasaan versi Nusantara, misalnya, Kekuasaan Jawa versi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat diletakkan pada konteks kebersamaan etis dan bermuatan nilai adat dan budaya. Kedua unsur nilai peradaban tersebut sangat mempengaruhi bentuk dan penyelenggaraan Kekuasaan soverein Raja versi Kekuasaan Jawa. Kekuasaan Jawa versi Ngayogyakarta Hadiningrat memuat nilai-nilai sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh, yang memuat nilai-nilai sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh, yang diambil dari penghayatan seorang penari Joged Mataram. Karya seni garapan Sri Sultan Hamengku Buwono I tersebut memuat pesan-pesan spiritual. Menurut adat Kraton Yogya, seorang Raja yang memiliki Kekuasaan soverein harus memahami empat unsur yang memiliki makna antagonistik. 1) Sawiji. sikap konsentrasi menyatu tanpa menghilangkan kesadaran diri. 2) Greget. Bersemangat, namun dikemas dalam kehalusan. 3) Sengguh. Percaya diri tanpa bersikap sombong. 4) Ora mingkuh. Sikap lepas, tenang namun dalam komitmen dan sikap tertib. Dengan dikemas dalam empat sikap versi Joged Mataram tersebut, Kekuasaan soverein versi Jawa tampil dalam bentuk ksatria arif (satriyo-pinandhito).
    Pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwwono I, membatasi kekuasaan Raja dalam delapan kebajikan, yaitu “Hastha-Wilapa-Sari”, yang intinya memuat 1) keterluluhan (ajur-ajer) Raja kepada lingkungan, 2) tanggap kepada fenomena yang terjadi; 3) merangkul kerabat pendukung tahta (kadang sentono); 4) mengayomi kawulo alit, papa dan renta di pedusunan; 5) tanggap ing sasmita, ewuh-pakewuh kepada para sarjana dan ulama; 6) memelihara adat, budaya, agama, persaudaraan umat; 7) memanfaatkan peradaban Barat bagi bangsa dan negara; 8) adil, arif bijaksana, tidak mabuk pujian.
    Tokoh legendaris Sultan Agung Hanyokrokusumo mengembangkan konsep kepemimpinan dalam : “Sang Aji Bahara Buwana” lewat “ Serat Sastra Gendhing”, yang memuat tujuh karateristik seorang Raja.
    Ajaran atau piwulang tersebut di atas menjadi wasiat yang wajib dilaksanakan oleh kerabat Ngarso Dhalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama kerabat Paduka Sri Paku Alam VIII. Menjelang Proklamasi 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Sri Paduka Paku Alam VIII, mengubah Konstitusi Kasultanan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kekuasaan soverein menjadi wasiat Rakyat kepada Raja (1945). Isi Maklumat tersebut kemudian dibukukan dengan judul Tahta untuk Rakyat.
    Maklumat tersebut membuat Yogya berbeda dengan Aceh dan Papua. Kehendak untuk bergabung dengan Republik Indonesia adalah kehendak Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri. Kekuasaan soverein Raja telah berubah menjadi Kekuasaan yang dititipkan atau diwakilkan kepada Raja. Mengapa tidak dimandatkan? Karena Raja tidak dipilih oleh rakyat dan Raja bukan mandataris rakyat. Berbeda dengan keistimewaan Aceh dan Papua. Kedua propinsi tersebut diberikan keistimewaan oleh Pemerintah Republik Indonesia oleh karena jasanya (Aceh) dan karena alasan politis (Papua). Mengatakan DIY sebagai Negara di dalam Negara adalah keliru. Demikian juga bila dikatakan di dalam Negara demokratis Republik Indonesia terdapat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningart. Yang benar adalah, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Propinsi yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia. Kekuasaan soverein Kasultanan merupakan wasiat Rakyat Yogya yang diemban semenjak Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama dengan Sri Paduka Paku Alam VIII. Dalam struktur Pemerintahan NKRI, maka Kepala Propinsi DIY adalah Sri Sultan selaku Gubenur, dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Wakil Gubenur. Dalam urusan internal, maka Sri Sultan adalah Junjungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sri Paduka Paku Alam adalah Junjungan Kadipaten Paku Alaman. Mengintervensi urusan internal DIY adalah identik dengan tidak menghargai serta menghormati sejarah bangsa-bangsa Nusantara sebagai embrio dan mozaik terbentuknya Bangsa Indonesia.
    Bagaimana dengan kondisi Kekuasaan soverein Kasunanan Surakarta Hadiningrat sepeninggal wafatnya Sinuwun Paku Buwono XII? Dimanakah Kekuasaan soverein Kasunanan selama ini? Dengan adanya dua Sinuwun Paku Buwono XIII, jelas bahwa Kasunanan yang secara de yure merupakan bagian dari Propinsi Jawa Tengah telah kehilangan Kekuasaan sovereinnya. Namun de fakto tidak demikian. Di dalam sistem kekerabatan Kraton Kasunanan, para Sentana (kerabat) tetap memposisikan Kraton seperti sentral budaya/sentral kekuasaan dengan struktur administrasi seperti zaman sebelum Republik, antara lain dengan menganugerahkan gelar kebangsawanan bagi mereka yang dianggap berjasa dan berprestasi terhadap pelanggengan eksistensi Kraton. Sayang sekali, Mataram harus terbagi empat, ketika terjadi Perjanjian Giyanti (1755). Bila tidak, mungkin akan ada Daerah Istimewa Mataram dengan segala peninggalan seni, budaya dan sejarah. Kenapa tidak? Ex-vorstenlanden Surakarta dan Yogyakarta Hadiningrat yang belum pernah dijajah Belanda secara de yure, mencakup wilayah/tlatah Mataram. Batas-batas wilayahnya dapat dipelajari dan ditelusuri. Seperti sistem Kekerabatan Matriarkat di Minangkabau dan sistem pranata sosial Banjar di Bali, maka Daerah Istimewa Mataram dengan empat Kraton di dalamnya merupakan aset Nasional. Daripadanya tercipta pelbagai seni sebagai produk simbolisasi budaya, misalnya, tari Bedoyo, kerajinan Batik, Lurik, Jumputan, Suluk, seni Tembang, seni Bahasa bertingkat (ngoko, kromo bagongan, kromo madyo, krama hinggil, Jawi purwo), Wayang Kulit/Orang, Keris, Joglo, Pendopo, dan lain sebagainya.
    4.Kekuasaan Negara di Republik Indonesia
    Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan oleh Sidang PPKI dan mulai pertama kalinya diumumkan pada tanggal 18 Agustus 1945, menyatakan bahwa lembaga tertinggi Negara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai yang mewakili Negara, oleh karenanya berkewenangan menyelenggarakan pemerintahan Republik dan mengangkat Presiden sebagai Kepala Negara serta mensahkannya sebagai mandataris MPR (mewakili Kekuasaan Negara). Negara Republik Indonesia, merupakan produk Kontrak Sosial para pendiri Republik (founding fathers) yang dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur no 56, Jakarta, yang kemudian disebut sebagai Proklamasi Kemerdekaan.
    Selama kurun waktu 63 tahun pasca Proklamasi, penyelenggaraan administrasi Kekuasaan Negara oleh Pemerintah Republik Indonesia dilaksanakan melalui berbagai versi dan interpretasi. Meskipun jauh hari sebelumnya para Pendiri Republik telah mengamanatkan, perlunya UUD 1945 yang singkat tersebut disempurnakan, namun yang terjadi adalah perubahan bukan penyempurnaan (amandemen). Padahal, mekanisme penyelenggaraan Kekuasaan Negara atas dukungan Rakyat, Wilayah, Konstitusi dan Berdaulat (pengakuan) masih memerlukan rumusan detil, yaitu pengaturan hubungan Kekuasaan Negara dengan keempat unsur pendukungnya beserta mekanisme kerjanya. Hanya melalui Kekuasaan Negara dimungkinkan menyatukan empat unsur pendukung tersebut.
    Belajar dari pengalaman Negara lain, Kekuasaan Negara dibagi tiga, yakni Kekuasaan legislatif, Kekuasaan eksekutif dan Kekuasaan yudikatif. Oleh karena itu, kiranya sah-sah saja Indonesia mengadopsi sistem pembagian Kekuasaan Negara lain, asal saja melalui sistem implementasi yang benar.
    Dalam Penjelasan Resmi UUD 1945 yang tercantum pada berita Republik Indonesia, 15 pebruari 1946, tertulis:
    UUD ini disusun dengan semangat kekeluargaan. Tetapi kalau para penyelenggara Negara dan pemimpin pemerintahan Negara melaksanakannya dengan semangat “perseorangan” (individualism), maka tujuan UUD ini tidak akan tercapai.

    Kenyataan bahwa, Bangsa Indonesia adalah mozaik bangsa-bangsa Nusantara yang tersebar dari Sabang sampai ke Merauke, tidak ada jalan lain bagi Kekuasaan Negara untuk melaksanakan kompromi Nasional dalam bentuk musyawarah dan mufakat. Kenyataan bahwa Hak Azasi Manusia atau HAM menjadi salah satu isu utama dalam amandemen UUD 1945, sangatlah bertentangan dengan Penjelasan Resmi tersebut di atas yang kolektif dan Kekeluargaan. Pertanyaannya adalah, demi terselenggaranya amanah UUD 1945, bukankah penyimpangan tersebut perlu diluruskan?
    Dengan empat kali amandemen yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, ada yang mengatakan, bahwa UUD 1945 yang sekarang sudah lebih baik, dapat dilihat dari hubungan kerja antara lembaga negara yang jauh lebih mencerminkan checks and balances, sehingga Negara lebih demokratis. (Moh. Mahfud:2008). Presiden (Eksekutif) dan DPR (Legislatif) saat ini sudah diposisikan secara sejajar, tak ada dominasi yang satu terhadap yang lain. (ibid) Keterlibatan Majelis Konstitusi (Yudikatif) membuat DPR harus bekerja dengan sungguh-sungguh. (ibid) Namun ada juga yang mengatakan, bahwa hasil amandemen telah memperburuk sistem Pemerintahan, karena membalik hubungan kelembagaan Negara dari executive heavy (dominasi Presiden) ke legislature heavy (dominasi DPR).
    Secara jujur, hasil amandemen mengubah jiwa dan semangat kekeluargaan yang mendasari setiap pasal UUD 1945, berubah menjadi bernuansa individual. Dengan demikian, semangat dan jiwa gotong-royong/ kolektif yang pernah diwasiatkan oleh para pendiri Republik berubah bernuansa Hak Azasi Manusia tanpa konteks. Kekuatiran Thomas Hobbes, tentang gejala homo homini lupus, tampaknya tidak menjadi kekuatiran manusia Indonesia. Kalau Hobbes mengantisipasi yang terburuk dengan melakukan pencegahan melalui pembentukan masyarakat politik dan pemberlakuan Monarki Absolut, maka di Indonesia adalah sebaliknya, yaitu amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 memberi peluang bagi manusia sebanyak-banyaknya untuk menjadi ’serigala bagi manusia lainnya’ lengkap dengan hak azasinya. Dengan jumlah kontestan Pemilu 2009 sebanyak 38 Partai, dimana setiap Ketua Partai berlomba jadi Kepala Negara, pemekaran daerah dimana-mana, maka terjadilah bursa Kekuasaan di Nusantara, sehingga banyak kemungkinan berlaku pepatah yang berbunyi, kalau gajah-gajah bertarung, pelanduk (rakyat kecil) mati di tengah.
    Falsafah Bangsa yang dirumuskan dalam Sila ke-4 Pancasila tidak serta merta dapat dikaitkan dengan Demokrasi (kekuasaan Eksekutif di tangan Rakyat), melainkan sejalan dengan musyawarah dan mufakat dalam pakta sosial Rakyat versi Rousseau. Meskipun dibubuhi atribut Pancasila, Demokrasi Pancasila menjadi sekedar jargon tanpa makna hakiki. Dalam perkembangan dunia politik Indonesia selanjutnya, istilah Demokrasi diartikan identik dengan Kedaulatan Rakyat atau Republik. Padahal, yang dimaksudkan dengan Republik adalah Negara di bawah Kedaulatan Rakyat.
    4. Pancasila dan Antagonis Kekuasaan
    Wacana Politik bicara tentang pembagian Kekuasaan, sementara Hukum bicara tentang pelaksanaan serta pelanggarannya. Kekuasaan berdasarkan power/force yang memiliki otoritas berlebihan cenderung menjadi otoriter. Antagonis Kekuasaan adalah Kebebasan (freedom) atau Kemerdekaan (liberty). (Supriatnoko:2008:107)
    Kebebasan adalah keleluasan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan sendiri; atau dapat pula diartikan sebagai hak dan kemampuan manusia untuk menentukan sendiri apa yang menjadi pilihannya.
    Tindakan mengalienasi kehendak oleh rakyat, sama absurdnya dengan tindakan sorang individu mengalienasi kebebasannya. (Kontrak Sosial : 1989: 28)

    Di Indonesia yang berlandaskan falsafah Pancasila sebagai payung Negara, sesungguhnya Kekuasaan Pemerintah dapat bersanding dengan etika kebersamaan, karena Pancasila memandang kehidupan sebagai satu totalitas etis, termasuk di dalamnya keadilan sosial, perikemanusiaan, serta Ketuhanan YME. Bila dilaksanakan dengan konsekuen, maka baik undang-undang, maupun pelaksanaannya serta segala pertimbangan terhadapnya senantiasa merujuk kepada Weltanschauung Negara yang pada gilirannya akan mewujudkan cita-cita Proklamasi 1945.
    Masyarakat Pancasila adalah masyarakat politik yang menggabungkan kultur politik dengan kultur lokal. Pakta sosial masyarakat Nusantara umumnya ajur-ajer terhadap Penguasa. Hal ini dapat disimak di banyak local wisdom (Kearifan lokal) yang dianut masyarakat, seperti manunggaling kawulo gusti (Jawa), dan lainnya. Oleh karena itu, Konstitusi Negara perlu mendapat perhatian serius dari seluruh Warga agar kembali berakar pada peradaban Nusantara yang berjiwa Gotong Royong/Kekeluargaan/kolektif.
    Dalam konteks bahasa politik Rousseau, sebagai ‘warga’ Kekuasaan yang tidak imun dari kewajibannya sebagai ‘subyek’ Hukum, Negara membutuhkan payung idiil dan landasan moral. Oleh karena itu, para pendiri Republik Indonesia merumuskan Pancasila sebagai Weltanschauung Bangsa dan Negara (korps politik/moral), agar Negara tidak menyimpang dari kewajiban sebagai warga Kekuasaan dan subyek Hukum. Tujuan Negara adalah memberi perlindungan dan menjamin kesejahteraan Rakyat.
    Kekuasaan Negara yang dimandatkan oleh akta asosiasi Rakyat Indonesia (korps politik) melalui perwakilannya, Majelis Permusyawaratan Rakyat, kepada lembaga Pemerintahan Republik Indonesia, menuntut adanya sikap etis (etika Politik Kekuasaan), agar 1) Pancasila, nilai kebersamaan 2) Kebangsaan, nilai solidaritas 3) Nasionalisme, nilai komitmen, dapat dijadikan landasan kebijakan publik dan Peraturan Pemerintah dalam penyelenggaraan administrasi Negara dengan baik. (Supranoko: 2008:69). Dengan mengemban ke-tiga nilai tersebut, Pemerintah Republik Indonesia, mandataris MPR, diandaikan sudah berbekal modal sosial yang memadai untuk mampu menjalankan Amanah Kesejahteraan Rakyat (AMKESRA). Itulah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan penyelenggaraan Kekuasaan secara etis dalam kemasan Pancasila, Nasionalisme dan Kebangsaan. Dalam bahasa politik Rousseau dikatakan, Souvereinitas tidak arbitrer, dan senantiasa melaksanakan Kehendak Umum.

    5. Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
    Menurut amanah Konstitusi Republik Indonesia 1945 sebelum amandemen, Kepala Negara atau Presiden sebagai pimpinan Eksekutif berkewajiban melaksanakan Undang-Undang Negara yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memegang kuasa Legislatif. Presiden bertanggungjawab dan bertanggungjawab kepada MPR sebagai lembaga tertinggi Negara yang berkewenangan menunjuk pencalonan Presiden serta menetapkannya sebagai Mandataris MPR. Namun kenyataan yang akan berlangsung di tahun 2009 adalah, bahwa keabsahan pencalonan Presiden dengan Wakil Presiden yang dipilih Rakyat secara langsung, perlu didukung oleh kurang lebih 25% suara anggota Legislatif (DPR), yang juga dipilih Rakyat melalui Pemilihan Umum Legislatif. Situasi demikian sangat tidak logis, suara Rakyat disahkan oleh wakil Rakyat.
    Dalam daftar tugas DPR sebanyak 13 butir, tidak satu butir pun mencantumkan adanya kewajiban tersebut. (Supriatnoko:2008:82) Dalam Konstitusi yang sudah diamandemen, diasumsikan hal tersebut menjadi sah, karena MPR sudah berubah posisi menjadi Joint Assembly, bahkan joint session dari DPR bersama DPD. Ini berarti, DPR dan DPD melaksanakan kewenangan lembaga tertinggi Negara, dan MPR melaksanakan kewenangan ‘Legislatif.’ Dalam Sovereinitas versi Rousseau, dikatakan (Kontrak Sosial:1989:42-45):
    Legislator adalah seorang manusia luar biasa dari segi manapun di dalam Negara. Ia harus luar biasa karena bakatnya dan juga karena tugasnya…Tugas yang membentuk Republik, namun sama sekali tidak termasuk Republik. Itu tugas khusus dan tertinggi, yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan [keseharian] manusia; karena, jika siapa memerintah manusia [magister], tidak berhak memerintah undang-undang, maka siapa memerintah undang-undang [legislator], tidak berhak memerintah manusia. (Kontrak Sosial:1989:42-3)

    …Sebelum terbentukya undang-undang, manusia harus sudah dalam keadaan yang nantinya ditentukan ditentukan oleh undang-undang. (Kontrak Sosial:1989:44)

    Bagi Rousseau, peran dan fungsi Legislator menduduki posisi sangat terhormat dalam hirarki penyelenggaraan Negara. Banyak kemungkinan hal ini kurang dipahami oleh para politisi Indonesia, terbukti dengan maraknya para calon legislatif yang relatif muda dan mereka yang bekal pendidikannya serta kedalaman falsafahnya kurang memadai untuk dapat setara dengan Legislator versi Rousseau. Banyaknya petualang politik dalam Pemerintahan dapat mengakibatkan kehancuran korps politik/Negara.
    Konstitusi Republik Indonesia melalui Undang-Undangnya yang mutakhir menetapkan Kepala Negara Republik Indonesia dipilih langsung oleh Rakyat. Dalam sistem Presidensiil, Presiden terpilih tidak seharusnya berasal dari Ketua Partai yang dicalonkan oleh Partainya sendiri. Bila demikian yang dilakukan, maka Rakyat telah melakukan kekeliruan besar karena mengacaukannya dengan sistem Parlementer, yang pimpinan Pemerintahannya dipegang oleh Perdana Menteri yang berasal dari Ketua Partai pemenang Pemilihan Umum.
    Seperti yang telah disampaikan di muka, bahwa berkat amandemen yang telah dilakukan, terdapat reaksi antara lain 1) bahwa kedudukan Presiden sejajar dengan DPR; 2) bahwa Indonesia adalah Negara Muslim terbesar yang berhasil membangun demokrasi dengan pesat pasca Reformasi; 3) bahwa politik Kekuasaan menjadi legislature heavy, 4) bahwa nilai-nilai dasar yang ditanamkan para Pendiri Negara tetap dipertahankan dengan kukuh dan penuh kesadaran. (Mahfud:2008) Menyimak kata-kata di atas dan memahaminya, merupakan dua hal berbeda. Untuk paling sedikit mendapat kan gambaran sederhana, kiranya perlu menyimak pelaksanaan pemerintahan Negara Republik Indonesia.
    a) Situasi umum.
    Di negeri asalnya, yaitu Kerajaan Britania Raya, pertemuan antara lembaga Eksekutif dan lembaga Legislatif di dalam Kabinet Parlementer, mewujudkan irisan wewenang, yang artinya perlu terjadi dialog antar kedua lembaga Kekuasaan politik tersebut. Demikian juga dengan unsur Yudikatif, hingga lembaga peradilan tersebut juga dapat mengawasi hasil dialog antara lembaga Eksekutif dan Legislatif. Namun demikian, sangat tidak dibenarkan, bila kedua lembaga politik tersebut dipimpin oleh satu orang.
    Para Pendiri Republik Indonesia jauh-jauh hari sudah mengingatkan, bahwa Konstitusi Republik Indonesia yang termaktub di dalam UUD 1945, dirumuskan secara singkat, karena diakui perlu penyempurnaan dan penyesuaian. Namun seperti yang telah disampaikan di muka, amandemen yang mentransformasikan UUD 1945 dari bercorak kekeluargaan berubah ke corak hak azasi individu, ibarat mencabut tanaman tanpa akarnya. Tidak ada yang lebih mengenal Jiwa Bangsa Indonesia selain para Pendiri Republik, yang memikirkan masa depan Bangsanya dengan segala ketulusan dan keikhlasan. Tidak dapat dipungkiri, amandemen telah mengingkari maksud dan tujuan perumusan UUD 1945 semula. Ini bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh prof Mahfud dalam kalimat sebagai berikut: mempertahankan dengan kukuh dan penuh kesadaran nilai-nilai dasar yang ditanamkan oleh para pendiri Negara.
    b) Lembaga Eksekutif, ialah lembaga tinggi Negara yang menerima Kekuasaan otoritas dengan kewenangan menjalankan administrasi penyelenggaraan Negara berdasarkan undang-undang yang dibuat dan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Di Indonesia, Presiden adalah pimpinan Eksekutif. Presiden juga memimpin Kabinet yang terdiri dari para Menteri yang membawahi Departemen dan Kementerian Negara non-Departemen. Mengapa dikatakan: Presiden dan DPR saat ini sudah diposisikan sejajar? (Moh. Mahfud : 2008)
    Presiden sesungguhnya adalah mandataris MPR. Karena Rakyat Indonesia tidak lagi memiliki perwakilan yang mewakili Kekuasaan Negara (MPR), siapa yang memberikan mandat kepada Presiden untuk menyelenggarakan Pemerintahan? Karena pemilihan Presiden dilakukan oleh Rakyat secara langsung, berarti Rakyat memberikan Kepercayaan penuh kepada Presiden. Artinya, terjadi Kontrak langsung antara para Pribadi (bukan pakta sosial, karena dengan tidak adanya wakil Negara berarti tidak ada Kekuasaan Negara) dengan Penguasa. Bukankah yang demikian ini mengulangi Kontrak versi John Lock? Bukankah peran dan fungsi 25% suara DPR dalam hal ini menjadi mubazir? Apakah 25% suara tersebut mewakili semua fraksi? Apakah kondisi demikian yang dimaksudkan dengan kesejajaran antara Presiden dengan DPR?
    Sebagai perbandingan, di bawah ini akan disampaikan gambaran singkat mengenai sistem Pemerintahan Presidensiil Amerika Serikat.
    Di Negara Amerika Serikat, para kandidat Presiden dan wakilnya, berangkat dari posisi Senator/Gubernur Negara Bagian/Independen yang tergabung dalam kelompok politik (pakta sosial) Republik atau Demokrat. Mereka berkampanye di Negara Bagian yang mendukungnya dan yang mungkin akan mendukungnya. Kandidat dengan angka suara tertinggi akan mewakili kelompoknya (Demokrat atau Republik) untuk ”bertarung” dengan lawan politiknya dari kelompok lain.
    Kandidat Presiden dari Demokrat dan Republik, bertarung dalam sebuah perdebatan, dimana Rakyat pemilih akan memberikan suaranya kepada Kandidat yang dianggap paling pantas menduduki kursi Kepresidenan Amerika Serikat di mata mereka. Sistem penetapan kandidatur Presiden demikian tidak dimiliki oleh Konstitusi Republik Indonesia sampai sekarang, sehingga satu-satunya cara yang dianut dan diterima Rakyat Indonesia adalah menunjuk Ketua Partai yang dicalonkan oleh Partainya sendiri.
    Di Inggris, pimpinan Pemerintahan adalah Perdana Menteri yang dipilih dari politisi perwakilan rakyat pemenang suara terbanyak, dalam hal ini pimpinan Partai politik. Sementara Presiden Amerika Serikat dipilih dari negarawan (senator atau gubernur negara bagian) yang mengajukan dirinya sebagai Kandidat Presiden yang bertarung melawan kandidat dari partai/kelompok lain. Pernah terjadi di Amerika Serikat, dua orang Capres independen maju, namun tidak berhasil. Secara ideal Kepala Negara yang sekaligus Presiden Indonesia, adalah Negarawan yang ditunjuk oleh Partai yang memenangkan suara terbanyak. Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai lembaga tertinggi Negara memberi mandat atas Kekuasaan dari Negara kepada Presiden terpilih.
    Secara de facto, pemilihan dan penetapan Presiden di Republik Indonesia rancu, karena menggunakan sistem Parlementer. Seperti yang sudah disampaikan di atas, setiap Ketua Partai dinominasikan oleh Partai masing-masing sebagai calon Presiden. Dengan ditiadakannya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Rakyat berkewajiban memilih langsung. Namun demikian, tanpa sistem yang memadai, seperti Amerika Serikat, yang memiliki Negarawan handal (Senator/mantan Gubernur) sebagai kandidat Presiden, maka pencalonan Presiden di Indonesia lagi-lagi menjadi sekedar petualangan para politisi.
    Di negara Amerika Serikat, setiap Senator memang berangkat dari kelompok aliran yang dipilihnya. Bagaimana Amerika Serikat menjalankan proses demokratisasinya perlu dipelajari, karena mereka hidup dalam sistem administrasi jaringan labah-labah yang tertib dan teratur, yang sekaligus memberlakukan Declaration of Independence, Bill of Human Rights serta US Constitution secara konsekuen.
    Amerika Serikat tidak membentuk sistem Pemerintahan Republik sentralistik seperti Perancis, karena terlalu luas, melainkan pemerintahan Federal. Amerika Serikat juga tidak bicara Kekuasaan yang dimandatkan yang sifatnya sentralistik, melainkan menghimpun Kekuatan rakyat (people’s power) melalui Negara Bagian (State) yang dalam Pemerintahan Federal diwakili oleh Senator masing-masing. Rakyat Amerika Serikat terbagi ke dalam dua kelompok gagasan Democrat dan Republic. Program Gagasan calon Presiden yang menang selama kampanye itulah yang digunakan sebagai program Pemerintahan Federal, sementara setiap Negara Bagian, karena otonom, mempunyai program Rumah Tangga sendiri-sendiri yang dilaksanakan oleh setiap Gubernur yang dipilih rakyat, dan oleh Walikota yang dipilih rakyat. Dengan demikian, setiap Negara Bagian/kota memiliki corak Pemerintahan sendiri yang dikehendaki rakyat, beraliran Demokrat atau Republik. Seperti yang sudah disinggung di muka, Negara Federasi Amerika Serikat adalah Negara yang dikendalikan oleh sistem administrasi yang mirip dengan ’jaringan laba-laba’. Karena itu, Pemerintahan seorang presiden A disebut sebagai the administration of A yang beraliran Demokrat atau Republik.
    Dalam konteks Indonesia, setelah MPR ’diturunkan’, UUD 1945 diposisikan sebagai Kekuasaan tertinggi Negara. Dalam posisi demikian, siapa yang akan mengamandemenkan lagi bila ada hal-hal yang perlu dukungan Undang-Undang? Apabila Rakyat memilih secara langsung, maka masyarakat politik kembali menjadi masyarakat alamiah, maka situasi itulah yang dikuatirkan oleh Thomas Hobbes. Kalau Hobbes mengubah kondisi alamiah masyarakat menjadi masyarakat politik yang terikat kepada kontrak untuk menyerahkan diri kepada Penguasa, maka dalam konteks gagasan Hobbes, Penguasa yang dalam hal ini diharapkan bertindak sebagai ‘Pengendali’ berposisi sebagai Monarki Absolut.
    Adakah manusia Indonesia terikat kepada suatu Kontrak yang menjamin kehidupan aman, damai? Semenjak tahun 1928, di Batavia telah terjadi Pakta Sosial Indonesia dari Pribadi-Pribadi Pribumi dengan mengucapkan Sumpah Pemuda, yang kemudian disusul oleh Proklamasi 1945. Mukadimmah UUD 1945 (Pancasila) merupakan akta para Legislator Pribumi yang dimaksudkan Rousseau, dalam konteks Negara Republik Indonesia, guna memandu moralitas Bangsa Indonesia, melindungi pribadi-pribadi (kolektif), dan mengarahkan sebagai warga dalam ‘penyerahan kebebasannya’ kepada Kekuasaan Negara Republik Indonesia (Nasionalisme dan rasa Kebangsaan) dan mengendalikan subyek sebagai bagian Sovereinitas Pemerintahan Indonesia.
    Indonesia terlalu luas. Perlukah Indonesia mencari sistem Pemerintahan alternatif dan sistem Ketatanegaraan yang lebih sesuai dengan kondisi geografis, demografis yang multi-etnik tersebut dengan tetap menggunakan payung Pancasila dan UUD 1945? Atau, menjalankan dan menyelenggarakan Pemerintahan Presidensiil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen?
    c. Lembaga Legislatif adalah vital bagi sebuah Negara. Sebagai perumus undang-undang, lembaga ini merupakan payung bagi dua lembaga lainnya. Kontrak Sosial Rousseau menyebutnya sebagai Soverein. Kerajaan Britania mengadopsi sistem Pemerintahan Parlementer, dimana Ketua Partai dengan suara terbanyak memimpin Pemerintahan dengan sebutan Perdana Menteri. Dalam Konstitusi Inggris, Perdana Menteri ditunjuk oleh Kepala Negara dalam hal ini Raja/Ratu. Parlemen (Legislatif) yang terdiri dari Raja/Ratu, House of Lords dan House of Commons merumuskan undang-undang Negara. Atas petunjuk Raja/Ratu, Perdana Menteri menyusun dan membentuk Kabinet yang dipimpinnya. Dalam sistem Kabinet Parlementer, lembaga Eksekutif terdiri dari para Secretary States, Civil Service, local authorities. (Hilaire Barnett:2006). Kepala Negara (kepala Legislatif) turut mengesahkan Rancangan Undang-Undang dan Peraturan-Pemerintah. Undang-Undang adalah acuan dan rujukan lembaga Eksekutif dalam merumuskan Kebijakan (Publik) dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan administrasinya. Di Kerajaan Britania Raya, proses penyempurnaan pembagian wewenang Kekuasaan antara tiga lembaga Pemerintah telah berlangsung berabad-abad. Baron Montesquieu (1689-1755), yang pernah tinggal di Kerajaan Inggris dari 1729-1731, menekankan betapa penting bagi lembaga Negara Yudikatif untuk berdiri sendiri agar Kekuasaan menghentikan Kekuasaan, dalam L’Esprit des Lois (1748). Namun demikian, Trias Politika dari negara asalnya, Kerajaan Britania, tidak sekaku Trias Politika versi Montesquieu
    Apa yang terjadi di Republik Indonesia? Pemilihan Legislatif dilakukan melalui Pemilihan Umum legislatif yang diikuti oleh Multi-Partai. Untuk tahun 2009 kontestan Pemilu berjumlah 38 Partai. KPU yang kurang menguasai permasalahan politik Negara, berada dalam posisi dilematis, antara bersikap demokratis atau kritis dan tegas. Nyatanya KPU mengambil langkah lunak. Akibatnya, terjadi multi Partai. Kondisi politik demikian menyebabkan Partai berubah bentuk, peran serta fungsinya. Partai tidak lagi berfungsi sebagai kendaraan Politik menuju Parlemen, tetapi juga untuk maksud-maksud tertentu lainnya.
    Sesungguhnya, Partai perlu menyiapkan Kader-Kader dan Fungsionarisnya agar dapat berperan dan berfungsi sebagai Legislator berkualitas seperti yang diangankan Rousseau, dengan memberikan informasi tentang pelbagai Konstitusi Negara lain. Karena posisi Partai berada di antara Pemerintah dan Rakyat, maka Platform Partai perlu berangkat dari kepincangan kehidupan masyarakat, bukan terbatas pada Visi dan Misi para elitnya. Oleh karena itu sebuah kekeliruan besar bila Partai berpihak pada dirinya sendiri dengan menyampaikan janji-janji muluk kepada Konstituen. Para legislator Indonesia diharapkan memperbaiki undang-undang tentang kepartaian dan tentang Pemiihan Umum serta tentang kedudukan MPR/DPR/DPD/DPRD. (Moh. Mafhud:2008)
    Dalam sebuah negara, jumlah Partai secara ideal sebaiknya tidak melebihi jumlah jari satu tangan, yaitu lima. Dengan kondisi demikian, setiap Partai dapat bersifat otentik. Dampaknya, Rakyat dengan mudah dapat memilih Partai mana yang benar-benar mewakili aspirasinya. Dalam tubuh Lembaga Legislatif yang tidak terlalu ’beraneka warna’, Partai akan lebih mudah bekerja dan memposisikan diri sebagai Partai Pro Pemerintah atau Oposisi. Bila sebaliknya, maka dapat dibayangkan sebuah lembaga Legislatif dengan tampilan mirip pasar lelang. Yang paling sulit dipertanggungjawabkan adalah, bila Partai berubah menjadi kendaraan untuk tujuan pribadi. Bila demikian halnya, maka gagallah tujuan semula agar politik Kekuasaan dan Kekuasaan politik dilaksanakan secara adil dan merata.
    d. Lembaga Yudikatif adalah lembaga peradilan yang merupakan hati nurani sebuah Negara. Bagaimana praktek peradilan dijalankan di Republik Indonesia merupakan sebuah bukti, bahwa sesungguhnya pembagian Kekuasaan di Republik ini belumlah terselenggara dengan selayaknya.
    Di Kerajaan Britania Raya, semenjak berabad-abad silam, the office of Lord Chancellor merupakan pimpinan Parlemen Inggris. Pada abad ke-14 ditambah peran Yudikatif. Sampai dengan tahun 1875 membawahi lembaga peradilan, the Court of Chancery. (Hilaire Barnett : 2006). Menjelang the Constitutional Reform Act 2005, the office of Lord Chancellor mencakup ketiga lembaga Negara, yakni the executive,legislature and judiciary.
    Dikatakan oleh Moh. Mahfud dalam tulisannya di koran Seputar Indonesia dalam rubrik Opini, Perubahan (Kembali) UUD 1945, bagian pertama dari dua tulisan,
    Alhasil, perubahan UUD 1945 sekarang ini sudah membawa kemajuan yang signifikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

    Ada tiga hal penting yang perlu dipertanggungjawabkan oleh Prof Mahfud berkenaan dengan pernyataannya di atas, yakni kenyataan bahwa 1) Indonesia mempertahankan nilai-nilai yang ditanamkan para Pendiri Negara; 2) secara tidak langsung ia, mendukung pujian Jimmy Carter dan Anwar Ibrahim atas keberhasilan Indonesia sebagai Negara Muslim terbesar membangun demokrasi dengan pesat pasca Reformasi 1998; 3). Presiden dan DPR saat ini sudah diposisikan secara sejajar.
    Apa pendapat Mahkamah Konstitusi (lembaga Negara Yudikatif) dalam hal ini?
    Kesimpulan
    Seperti yang telah disampaikan di muka, pada dasarnya manusia, terbagi dua, yaitu yang punya kecenderungan menguasai dan dikuasai. Dari situasi ini, interaksi manusia dan inter-relasinya berkembang kearah dikotomis-dialektis (menurut pandangan kekuasaan versi Barat), yang berbeda dengan versi Timur, yang cenderung bermotif Kearifan dan Keterluluhan dan yang idealismenya senantiasa mengarah kepada perwujudan keselarasan dengan lingkungan (budaya Weda). Sesungguhnya UUD 1945 bermaksud menyampaikan hal tersebut melalui Preambul dan ayat-ayatnya.
    Kekuasaan sebagai daya yang keluar dari Kehendak ego manusia, kiranya perlu ‘dijinakkan’ melalui pendidikan dan latihan pengendalian budi pekerti, agar manusia mampu berperan dan berfungsi serta berperilaku tanggap/cerdas.
    Dalam konteks perbaikan dan penyempurnaan kehidupan sosial dalam bernegara, yang perlu dilakukan, adalah mengembalikan fungsi Lembaga Tertinggi Negara yang mewakili Kekuasaan Negara sebagai wadah kebersamaan etis yang berkedaulatan Rakyat; menyempurnakan sistem Tata Negara dalam konteks Nusantara sebagai wilayah Maritim; memperbaiki sistem penetapan calon Presiden sebagai Kepala Negara Republik Indonesia dan mandataris MPR; memperbaiki undang-undang tentang Kepartaian dan tentang Pemilu; memperbaiki peran dan fungsi Sekolah sebagai lembaga pendidikan dan latihan Generasi Penerus.
    Oleh karena itu, jangan hendaknya Bangsa Indonesia membuat dosa kolektif kepada Generasi Penerus, untuk menelantarkan Pakta Sosial Bangsa ketika disampaikan dalam Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Negara Republik Indonesia adalah wadah kebersamaan bagi seluruh bangsa-bangsa Nusantara, yang masih dalam cita-cita dan angan-angan, tempat berlindung, mencari nafkah, merdeka dan sejahtera. Bagi mereka yang dipercaya menerima amanah, hendaknya mempertahankan kehormatan itu, karena Kekuasaan yang dimandatka bisa menjadi bumerang, ketika Generasi mendatang menderita kesengsaraan, karena ulah pendahulunya. Bilamana para Pendahulu Republik Indonesia bisa memerdekakan, mengapa Generasi mendatang harus terbelenggu dan terjerat leher oleh hutang Generasi sekarang?
    Penutup
    Seperti yang ditanyakan oleh Spiderman, Ksatria imajinasi Rakyat Amerika, dalam adegan akhir film versi pertamanya, ia bertanya, “sesungguhnya, kekuatan yang diberikan kepadaku sebuah blessing (berkah) or a curse (petaka)?” Demikian juga kiranya, terdapatnya kekuasaan pada Negara dan Pemerintahan, sesungguhnya sebuah karunia atau petaka? Sekiranya pertanyaan tersebut mengacu kepada landasan idiil dan payung moralitas Bangsa, UUD 1945 dan Pancasila, sebagai Etika Kebersamaan, tentu saja Kekuasaan merupakan karunia Allah SWT. Bukan saja Negara mampu menjalankan Kewajibannya, tetapi juga Pemerintahan serta merta berubah menjadi Kepimimpinan yang memang menjadi dambaan rakyat Nusantara sedari dulu hingga masa yang akan datang. Mungkinkah yang demikian itu tanda ‘hadirnya’ Satrya Piningit di dalam kalbu para wakil Rakyat? Wallahualam……

    Daftar Pustaka

    1. Barnett, Hilaire, 2006, 1995, 1998, 200, 2002, 2004, Constitutional & Administrative, Routledge and Cavendish, Oxon OX14 4RN
    2. Goodin, Robert, E, et al., 1998, 1996, A New Handbook of Political Science, Oxford University Press, Oxford OX2 6DP
    3. Hoffman, John, 1995, Beyond the State, Polity Press, Cambridge
    4. Ismatullah, Deddy, et.al., Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif, CV Cipta Setia, Bandung
    5. Librayanto, Romi, 2008, Trias Politika Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PuKAP, Makasar
    6. Maritain, Jacques, 1951, Man and the State, the University of Chicago Press, Chicago
    7. Mill, John Stuart, 1974, On Liberty, Penguin Books, diterjemahkan oleh Alex Lanur, 1996, Perihal Kebebasan,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
    8. Muljana, Prof.DR. Slamet, 2006, Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, LkiS Yogyakarta, Yogyakarta
    9. Nietzsche, Friederich, 1967, The Will to Power, trans. W. Kaufmann, Vintage, New York
    10. Pramudito, Bambang, Dr, 2006, Kitab Negara Kertagama, Gelombang Pasang, Yogyakarta
    11. Raz, Joseph, 1986, 1988, 1989, 1990, The Morality of Freedom, Clarendon Press, Oxford
    12. Rousseau, Jean-Jacques, 1762, Du Contrat Social, diterjemahkan oleh Ida S.Husen dan Rahayu Hidayat, 1989, Perihal Kontrak Sosial dan Prinsip-Prinsip Hukum Politik, Penerbit Dian rakyat, Jakarta
    13. Russel, Betrand, 1995, Power, Cox & Wyman Ltd, Reading
    14. Sukarno, 1984, Pancasila sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press
    15. Supriatnoko, 2008, Pendidikan Kewarganegaraan, Penaku, Jakarta
    16. Suseno, Franz Magnis, 1992, Filsafat Kebudayaan Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
    17. Suwarno, DR, P.J, SH, 1993, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Penerbit Kanius, Yogyakarta
    18. Tuck, Richard, 1989, 1990, Hobbes, Oxford University Press, Oxford

    Artikel
    19. Hari Dendi, 2007, Aktualisasi Filosofi Kepemimpinan Jawa dari Serat piwulang & gelar seni dalam dialog budaya & gelar seni “YogyaSemesta” seri -7, kerjasama antara Dinas Kebudayaan DIY dan Badan Pariwisata Daerah DIY, Yogyakarta
    20. Mahfud, Moh., 2008, Perubahan (Kembali) UUD 1945, dalam Rubrik Opini, Seputar Indonesia, Jakarta

  2. wahyudidjafar Avatar
    wahyudidjafar

    sebuah komentar–atau artikel dari seorang kawan,yang justru lebih panjang dari tulisan saya, hehehehe… tak apa, tentunya tulisan itu kian melengkapi discourse tentang kedaulatan, dan memudahkan pembaca sekalian untuk mengaksesnya. Membaca tulisan tersebut saya teringat tulisan Jean-Jacques Rousseau dalam Du Contract Social, dikatakan “Otoritas yang membentuk republik bukanlah Souverain ataupun pemerintah melainkan legislator,” jadi sedikit koreksi meski souverain termanifestasikan dalam sebuah lembaga legislasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, tetapi menurut rousseau, kuasa legislatif akan dikhawatirkan akan mengungguli kuasa daulat rakyat–sewenang-wenang, karena itu rousseau memberikan kritik terhadap demokrasi representasi, dan mengingatkan perlunya sebuah kontrak sosial (konstitusi), sebab menurut dia, apapun metode dan siapa pun yang memegang kuasa, jika tidak diikat dengan sebuah kontrak sosial, maka berpotensi untuk sewenang-wenang. atau menurut Ibnu Khaldun yang diteruskan oleh lord acton dikatakan power tend to corrupt.

    salam,

  3. asriie Avatar
    asriie

    i like it

    1. wahyudidjafar Avatar
      wahyudidjafar

      terima kasih asriie.

Leave a comment